Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit Studi Kasus Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun



There is document - Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit Studi Kasus Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun available here for reading and downloading. Use the download button below or simple online reader.
The file extension - PDF and ranks to the Documents category.


302

views

on

Extension: PDF

Category:

Documents

Pages: 1

Download: 59



Sharing files


Tags
Related

Comments
Log in to leave a message!

Description
Download Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit Studi Kasus Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun
Transcripts
1 BAB I PENDAHULUAN 11 Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit (oilpalm plantation) merupakan perkebunan yang tengah berkembang di Kabupaten Siak Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak menyebutkan luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008 mencapai 186819 Ha Luas areal perkebunan kelapa sawit akan terus berkembang di wilayah ini mengingat masih banyaknya hutan-hutan sekunder yang berpotensi untuk dijadikan perkebunan Kecamatan Dayun merupakan sentral pertumbuhan dan perkembangan utama areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak Luas areal perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini mencapai 21949 Ha pada tahun 2008 (BPS Kab Siak 2008) Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit berdampak nyata terhadap lingkungan diantaranya adalah semakin berkurangnya ketersediaan air Tanaman kelapa sawit secara ekologis merupakan tanaman yang paling banyak membutuhkan air dalam proses pertumbuhannya Perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan yang diterapkan secara monokultur pada suatu lahan Adanya perubahan penggunaan lahan dari hutan alami ke sistem tanaman monokultur seperti perkebunan kelapa sawit akan merubah sistem dan tatanan neraca air yang ada di wilayah tersebut Karena mekanisme tanamannya yang monokultur, baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap neraca air lahan dan ketersediaan air di wilayah tersebut Estimasi nilai lingkungan dilakukan untuk melihat seberapa besar nilai kerugian lingkungan yang terjadi akibat adanya perkebunan kelapa sawit Nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini di dekati sebagai nilai konsumsi sumberdaya air oleh perkebunan kelapa sawit pada suatu lahan yang diperoleh melalui perhitungan neraca air tanaman kelapa sawit Besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit kemudian di nilai dalam bentuk rupiah dengan tujuan untuk memudahkan dalam hal perbandingan antara total nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit yang diterima oleh masyarakat dengan total nilai lingkungan yang harus di tanggung oleh masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit Program konservasi sumberdaya air dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana kekeringan dan kelebihan air yang mungkin timbul akibat adanya alih fungsi lahan Keikutsertaan masyarakat dalam mendukung adanya program konservasi sumberdaya air ini sangat dibutuhkan Dukungan masyarakat dalam mendukung program konservasi sumberdaya air terlihat melalui Willingess To Pays (kemauan membayar) dari masyarakat dalam program konservasi sumberdaya air Besarnya nilai WTP dari masyarakat dapat ditentukan berdasarkan survei langsung yang dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit Hasil nilai WTP kemudian digunakan untuk melihat seberapa besar nilai manfaat lingkungan yang akan diperoleh masyarakat dengan adanya program konservasi sumberdaya air 12 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1 Menghitung serta menganalisis neraca air lahan sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit 2 Menghitung besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit 3 Mengestimasi nilai ekonomi lingkungan tanaman kelapa sawit 4 Menganalisis WTP masyarakat untuk program konservasi sumberdaya air BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan Konsep nilai didefinisikan sebagai tingkat kepuasan (utilitas) yang diperoleh seorang konsumen dari kegiatan mengkonsumsi suatu barang dan jasa Menurut Fauzi (2004) pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut dengan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama dari berbagai disiplin ilmu adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan dan kemudian disebut sebagai nilai ekonomi sumberdaya alam Bagi suatu individu nilai dari suatu barang atau jasa adalah keinginan dan kemampuannya untuk berkorban terhadap barang atau jasa tersebut Berkorban yang dimaksud adalah kemampuan dan keinginan membayar lebih terhadap suatu barang atau jasa yang dibutuhkan oleh individu tersebut Setiap orang/individu akan memiliki kemampuan dan keinginan membayar yang berbeda-beda Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan dari setiap individu yang menginginkan barang/jasa tersebut Kemampuan atau keinginan membayar dari setiap individu tersebut biasanya dinyatakan dalam bentuk WTP (Willingness To Pays) Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan standar yang diinginkannya Kesediaan membayar setiap individu didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh, dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan Penghitungan WTP yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: 1 Menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan 2 Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan 3 Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan ataupun untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik Secara umum teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non market valuation) dapat digolongkan kedalam dua kelompok, yakni teknik langsung dan teknik tidak langsung Secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 Kelompok pertama adalah teknik valuasi tidak langsung, yang mengandalkan harga implisit dimana WTP terungkap melalui model yang dikembangkan Teknik ini disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan untuk membayar yang terungkap) Beberapa teknik yang termasuk kelompok ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing, dan teknik yang relatif baru disebut Random Utility Model Kelompok kedua adalah teknik valuasi langsung, yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis Teknik penilaian yang cukup popular adalah Contingent Valuation Method (CVM) dan Discrete Choice Model (DCM) Gambar 1 Teknik Valuasi Non-Market Besarnya WTP dari setiap individu dapat ditentukan melalui metode valuasi langsung (contingen valuation method) Metode valuasi langsung adalah suatu metode survei untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan Menurut Haab dan McConnell (2002) Contingent Valuation adalah sebuah metode dalam mengumpulkan informasi mengenai preferensi atau kesediaan membayar (WTP) dengan teknik pertanyaan secara langsung Kesedian membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi dan pendapatan individu (Pearce et al 1994) Tujuan dari CVM adalah untuk mengukur keinginan membayar individu (WTP) untuk perubahan kuantitas atau kualitas dari barang dan jasa lingkungan Pendekatan CVM disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan Kedua, dengan teknik survei CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dan lainnya) dan kedua, keinginan menerima (Willingness To Accept atau WTA) kerusakan suatu lingkungan perairan (Fauzi 2004) Hanley dan Spash (1993) menyebutkan bahwa langkah-langkah dalam penggunaan CVM terdiri dari: 3 1 Menyusun Hypothetical market 2 Penentuan besarnya penawaran/lelang (bid curve) 3 Menghitung rataan WTP dan/atau WTA 4 Menjumlahkan data 5 Mengevaluasi perhitungan CVM Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan dan juga mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak menentu Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang memiliki preferensi tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan mentransformasi preferensi ke dalam bentuk nilai moneter atau uang Asumsi selanjutnya, orang tersebut akan bertindak seperti yang dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa jumlah tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan Pertanyaan tersebut digunakan untuk menentukan suatu pasar hipotesis terhadap perubahan lingkungan yang diinginkan Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada Oleh karena itu, pasar hipotesis harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya Responden harus mengenal dengan baik kondisi yang ditanyakan dalam kuisioner dan alat hipotetik yang dipergunakan untuk pembayaran Pendekatan CVM dilakukan dengan cara menentukan kesediaan membayar (WTP) dari konsumen Pendekatan ini dapat diterapkan pada keadaan yang dapat menimbulkan kesenangan (estetic) seperti pemandangan alam, kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik Penilaian lingkungan secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan teknik penentuan nilai hipotesis dari barang lingkungan yang ingin di nilai (Hufschmidt et al 1987) Metode ini lebih fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari pertanyaan hipotesis Namun, dalam pelaksanaannya, CVM mempunyai kelemahan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya Kelemahan utamanya adalah munculnya bias Bias terjadi jika terdapat nilai yang kurang dari nilai yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat ataupun nilai yang melebihi dari nilai yang sebenarnya diinginkan Sumber-sumber bias menurut Fauzi (2004) ditimbulkan oleh dua hal utama, yaitu: 1) Bias yang timbul karena strategi yang keliru Ini terjadi misalnya jika kita melakukan wawancara dan dalam kuisioner kita nyatakan bahwa responden akan dipungut biaya untuk perbaikan lingkungan, sehingga timbul kecenderungan responden untuk member nilai kurang dari yang sebenarnya Sebaliknya, jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai yang lebih dari sebenarnya 2) Bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, karcis masuk harus dinaikkan Hal tersebut tentu saja akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah daripada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain (misalnya melalui yayasan, trust fund, dan sebagainya) Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun Sebab timbulnya surplus konsumen karena konsumen mampu membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama Secara sederhana, surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga (Samuelson dan Nordhaus 1990, dalam Djijono 2003) Besarnya surplus konsumen dapat dilihat pada gambar berikut, yaitu area atau bidang di bawah kurva permintaan dan diatas garis harga (Gambar 2) 22 Neraca Air Lahan dan Tanaman Neraca air lahan merupakan suatu estimasi ketersediaan air yang berada pada suatu lahan tertentu dengan jenis tutupan tertentu Ketersediaan air yang berada dibumi merupakan suatu sistem yang dinamik, artinya selalu berubah dari waktu ke waktu Gambar 2 Surplus konsumen (Sumber: Samuelson dan Nordhaus 1990) Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1979) neraca air merupakan penjelasan tentang hubungan keseimbangan antara aliran yang masuk (inflow) dan aliran yang keluar (outflow) dari air di suatu hamparan lahan pada periode tertentu Hal yang sama juga dijelaskan oleh Hillel (1972), dimana neraca air lahan merupakan rincian perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu lingkungan tertentu selama periode tertentu Neraca air lahan dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan air suatu tanaman Metode yang lebih spesifik yang digunakan dalam menentukan kebutuhan air suatu tanaman adalah dengan neraca air agroklimat Secara spesifik, Doorenbos dan Pruitt (1976) menjelaskan kebutuhan air merupakan jumlah atau tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui evapotranspirasi tanaman sehat, tumbuh di lahan yang luas pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya Dengan mengabaikan jumlah air yang digunakan dalam kegiatan metabolisme maka evapotranspirasi dapat disamakan dengan kebutuhan air tanaman Oleh karena itu, Sasrodarsono dan Takeda (1978) menyatakan bahwa kebutuhan air disebut juga evapotranspirasi Ketersediaan air tanah (Total Available Water, TAW) merupakan jumlah air yang tersedia diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen dari jenis tanah tersebut Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi Titik layu permanen adalah kondisi dimana akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah Titik kritis adalah batas minimum air tersedia yang dipertahankan agar tidak habis mengering diserap tanaman hingga mencapai titik layu permanen Titik kritis ini berbeda untuk berbagai jenis tanaman, tanah, iklim serta diperoleh berdasarkan penelitian di lapangan (Benami dan Offen 1984, dalam Yanwar 2003) Kandungan air antara kapasitas lapang dan titik kritis disebut RAW (Readily Available Water) Perbandingan antara RAW dengan total air tanah yang tersedia dipengaruhi oleh iklim, evapotranspirasi, tanah, jenis tanaman dan tingkat pertumbuhan tanaman (Raes 1988) Berdasarkan penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1999), yang melakukan pendugaan kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit, diketahui bahwa kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit di lapang berkisar antara 4 – 4,65 mm/hari atau sekitar 120 – 140 mm/bulan Pemberian air melalui sistem irigasi secara umum dilakukan pada akhir Juli sampai akhir Oktober Air yang dibutuhkan sistem irigasi saluran terbuka berkisar antara 1960 – 2460 m3/ha/bulan, dengan puncaknya pada Agustus (2460 m3/ha/bulan) Air yang dibutuhkan sistem irigasi tertutup (sprinkler dan drip) berkisar antara 1570 – 1970 m3/ha/bulan, dengan puncaknya pada Agustus (1970 m3/ha/bulan) Jumlah kebutuhan air ini setara dengan 0,9 liter/detik/ha, yang hampir sama dengan kebutuhan air untuk irigasi padi sawah 23 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Pengaruh langsung akibat adanya konversi lahan dari hutan menjadi tanaman monokultur adalah adanya penurunan debit serta meningkatnya air larian permukaan (surface runoff) (Onrizal 2005) Penurunan debit dan volume air serta peningkatan keragamannya kemungkinan disebabkan oleh penurunan curah hujan dan perubahan tataguna lahan Hal ini sesuai dengan pendapat Pawitan (1999) yang menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim Ukuran DAS dan kapasitas storage DAS baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau, waduk dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim Pawitan (2002) juga mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan dengan memperluas 5 permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatkan aliran permukaan (run off) Penurunan muka air tanah secara langsung mempengaruhi penurunan debit dan peningkatan run off secara langsung mempengaruhi peningkatan debit Konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat sekarang walaupun di Indonesia sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas, sekitar 30 juta hektar, sebagai akibat aktifitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk berbagai keperluan (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan 2000) Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1978 dengan laju pertumbuhan luas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat) Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu Kondisi ini menyebabkan hampir seluruh perkebunan kelapa sawit yang ada merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi Salah satu elemen hutan tanaman industri (HTI) yang masih produktif adalah hutan alam dan besarnya rata-rata 22 % dari seluruh kawasan hutan yang dikelola Besarnya hutan alam yang dikonversi dalam pembangunan HTI sampai pada Juni 1998 adalah seluas 1 Juta Ha Hal ini berarti kerusakan hutan alam yang terjadi merupakan salah satu dampak pembangunan HTI (Kartodiharjo dan Supriono 2000) Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung 2000, Potter and Lee 1998) Beberapa studi telah menemukan penurunan jumlah 80% untuk tanaman dan 80 - 90% (untuk mamalia, burung, dan reptilia) dalam keragaman hayati sebagai akibat konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat berkorelasi positif dengan tingginya kasus illegal loging yang begitu marak sejak tahun 1998 - 2007 Selain itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit turut bertanggung jawab sebagai salah satu penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan seluas 10 Juta ha pada tahun 1997 - 1998 Total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 - 1998 diperkirakan mencapai US 9,3 Milyar (Bappenas 2000) Menurut data Sawit Watch tahun 2004, luas kebun sawit di Indonesia saat ini berjumlah 7,4 Juta ha yang menghasilkan 18,7 Juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) Seperempat bagian atau 4,5 Juta ton dari minyak sawit mentah tersebut digunakan untuk konsumsi domestik, sedangkan sisanya ditujukan untuk pasar ekspor Secara ekonomi, ada nilai tambah yang diperoleh dari minyak sawit, namun ada nilai yang tak terhitung besarnya akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya Adapun beberapa dampak yang timbul akibat perluasan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, diantaranya: a Kebakaran hutan Sejak tahun 1997 sampai awal tahun 2008, bencana kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan juga gambut untuk membuka kebun sawit terus saja terjadi, terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan Ada ribuan masyarakat yang mengidap penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) akibat pembakaran lahan dan hutan Lebih dari seribu jiwa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, terkena ISPA (Kompas 2008) Jumlah penderita yang tak jauh berbeda juga didapati di Kota Pekanbaru, Jambi, Palangkaraya dan Samarinda b Bencana banjir Penebangan hutan secara Illegal yang menjadi daerah resapan air ketika dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama terjadinya banjir Secara ekologis, tanaman sawit sangat banyak membutuhkan air, namun tidak mampu menangkap air dalam jumlah besar Artinya perkebunan kelapa sawit bukan areal yang bisa dijadikan tangkapan air (Manurung 2000) c Kesulitan air bersih dan pencemaran air Secara ekologis, kelapa sawit membutuhkan 10-12 liter air per hari untuk menopang hidupnya yang berakar serabut Kebutuhan air perkebunan kelapa sawit dalam jumlah besar secara tidak langsung membuat sungai-sungai yang ada disekitar perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan jumlah debit air bahkan sebagian sungai mengalami kondisi kekeringan Hal ini menyebabkan akses masyarakat terhadap air bersih semakin sedikit dan sulit Selain itu, pabrik-pabrik pengolahan tandan buah sawit membuang limbah langsung ke sungai yang letaknya dekat dengan pabrik, tanpa mengolahnya terlebih dahulu Pembuangan limbah pabrik tersebut banyak didapati di sepanjang daerah aliran sungai antara lain DAS Sungai Siak (Riau) dan Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) (Gindho 2009) Kondisi ini membuat penduduk yang memanfaatkan sungai sebagai sumber mata air mengalami gangguan kesehatan, terutama penyakit kulit Menurujuk data World Bank (1992), sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum, masak, dan mencuci Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan bahan kimia beracun, dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standard) Penggunaan air yang tercemar telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank 1992) d Penurunan tingkat kesuburan tanah Jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk menyuburkan perkebunan kelapa sawit mencapai 2,5 Juta ton dari lahan perkebunan kelapa sawit seluas 7,4 Ha Selain pupuk, 1,5 juta liter pestisida juga disemprotkan untuk menjaga hama dan gulma pada perkebunan kelapa sawit Kondisi ini mengakibatkan menurunnya kemampuan tanah untuk memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman (Dirjennas Perkebunan 2008 dalam Gindho 2009) e Penurunan tingkat keanekaragaman hayati akibat pengerusakan hutan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2005-2006 kerusakan hutan tropis yang telah mencapai 59,3 juta Ha dari 127 juta Ha total luas hutan Indonesia telah menyebabkan punahnya 30% spesies flora dan fauna hutan tropis Penelitian tadi masih dilanjutkan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Banga dimana para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang masih hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun mendatang (Reid 1992 dalam Gindho 2009) Proses alih lahan yang paling berpengaruh terhadap hilangnya beberapa spesies burung adalah pada saat pembukaan lahan (land clearing) Kegiatan pembukaan lahan melalui proses land clearing menyebabkan musnahnya habitan burung dan terjadinya fragmentasi habitat serta timbulnya habitat burung yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya Kegiatan peremajaan perkebunan menyebabkan keanekaragaman burung menjadi menurun bahkan menghilang (Yoza 2000) BAB III METODE PENELITIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan diwilayah perkebunan kelapa sawit milik PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) yang berada di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Propinsi Riau Estimasi nilai ekonomi lingkungan perkebunan kelapa sawit dilakukan di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak Desa ini merupakan Desa Binaan dan hampir seluruh masyarakatnya merupakan petani sawit Pengambilan data primer berupa kuisioner dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli tahun 2010 Pengolahan data dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2010 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor 32 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: a) Seperangkat komputer lengkap dengan software MS word dan MS excel 2007 b) Satu berkar kuisioner Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder Adapun data primer yang digunakan adalah data hasil kuisoiner dari responden yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a) Data curah hujan tahun 1979-2009 dari Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru b) Data suhu tahun 1979-2009 dari Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru







Recommended